Friday, January 4, 2008

Gajah Mada

Judul: Gajah Mada
Penulis: Langit Kresna Hariadi
Penerbit: Tiga Serangkai Solo
Cetakan #4: 2006
Tebal: 582 hal + x


"Misteri di Balik Pemberontakan Ra Kuti"

Lintang kemukus beberapa kali muncul di langit Majapahit. Dan kini, kabut tebal seperti menyelimuti segenap sudut kotaraja Wilwatikta. Orang-orang bertanya, peristiwa besar apa yang akan terjadi esok hari? Ingatan mereka melayang pada pertempuran Ken Arok dari Tumapel dengan Kertajaya dari kerajaan Kediri. Kertajaya tumpas. Juga ketika Singasari, kerajaan yang dengan susah-payah dibangun Ken Arok dihancurkan oleh Jayakatwang dari Kediri. Kertanegara, raja Singasari saat itu pun, tapis. Juga hal serupa terjadi ketika malam menjelang kematian Ken Dedes, seorang permaisuri Tumapel dan Singasari yang dari rahimnya dilahirkan raja-raja Jawa.

Dan kekhawatiran mereka ternyata terbukti. Rakryan Kuti memberontak. Dengan memanfaatkan pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda, Kuti, salah seorang dari Dharmaputra Winehsuka yang paling berpengaruh, madeg kraman, menggempur istana raja Jayanegara dari pintu belakang. Tujuannya hanya satu: menggulingkan Kalagemet, nama kecil Jayanegara, dan mengangkat dirinya menjadi raja.

Hal ini sama sekali tak pernah disangka-sangka, karena Dharmaputra tidak memiliki pasukan. Tetapi dengan segala tipu-muslihat dan akal bulusnya, Ra Kuti bisa memanfaatkan pasukan lain dan membaca keadaan. Dibantu saudara-saudaranya: Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa, Ra Wedeng, dan Ra Tanca, juga temenggung Pujut Luntar dan Panji Watang -- keduanya adalah pimpinan pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda -- Ra Kuti berhasil menggerakkan pasukan segelar-sepapan menggilas istana.

Inilah pemberontakan yang banjir darah. Sebuah ambisi menguasai dampar kedaton yang berlepotan darah. Ra Kuti memang berhasil mengusir Jayanegara dari istana. Namun, korban yang jatuh, baik dari pasukan perang maupun rakyat jelata tak terhitung lagi. Termasuk Panji Watang, Pujut Luntar, dan juga Lembu Sora, pimpinan pasukan Jalapati yang lebih memilih berhadapan dengannya. Ketiganya tewas sebagai martir, sekaligus korban.

Adalah bekel Gajahmada, pimpinan pasukan Bhayangkara, yang telah berhasil mengamankan Jayanegara keluar istana. Sebuah pengalaman petualangan yang tak pernah sama sekali terbayangkan Jayanegara. Ia harus menyamar, mengarungi sungai, melewati gorong-gorong, berjalan tak tentu rimba dan tak pernah berhenti, menginap di kebun jagung atau di dangau, bersembunyi berbalut lumpur dan diinjak-injak musuh. Juga makan makanan rakyat jelata yang mungkin tak pernah ditemuinya di istana. Dari Wilwatikta, atas inisiatif dan strategi Gajahmada, Jayanegara diungsikan ke Kabuyutan Mojoagung, kemudian bergerak lagi karena ketahuan Ra Kuti dan pasukannya, hingga tiba di Bedander. Sebuah pedukuhan tandus di Pegunungan Kapur Utara.

Upaya pengungsian Jayanegara dan juga perebutan kembali takhta Ra Kuti oleh pasukan Bhayangkara diwarnai dengan penyusupan telik sandi, bahkan di tubuh Bhayangkara sendiri. Sehingga, berbagai rencana Gajahmada selalu diketahui musuh. Beberapa tempat persembunyian Jayanegara juga terendus mereka. Hal mana menyebabkan Gajahmada harus membersihkan Bhayangkara dari telik sandi Ra Kuti itu. Dan hal itu tidaklah mudah, karena setiap Bhayangkara adalah prajurit pilihan, memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit kebanyakan, cukat trengginas dan tahan banting, bahkan terhadap intimidasi. Dengan susah-payah, Gajahmada akhirnya bisa membersihkan anggotanya yang membelot, meski untuk itu, ia harus kehilangan beberapa anggota pasukan, seperti Mahisa Kingkin dan Risang Panjer Lawang. Sedikit banyak, upaya Gajahmada ini mendapatkan bantuan dari seseorang misterius yang menyebut dirinya Bagaskara Manjer Kawuryan. Sebuah kalimat sandi yang berarti matahari terang-benderang. Orang ini beberapa kali memberikan informasi dan juga peringatan yang sangat berguna buat Gajahmada untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi keadaan.

Di sisi lain, meski Ra Kuti berhasil menguasai istana, tetapi ia tidak menguasai seluruh pasukan. Ia juga tak disenangi penduduk, karena berbagai kebijakannya yang justru menyengsarakan mereka. Perampokan, perampasan, penggeledehan, dan juga perkosaan banyak terjadi, justru dilakukan oleh para prajuritnya di lapangan. Semua itu menjadikan rakyat ikut berontak dengan caranya sendiri. Pepe di alun-alun Majapahit misalnya. Tetapi sayangnya Ra Kuti justru membinasakan mereka yang tengah pepe itu. Satu hal yang tak pernah terjadi pada masa-masa raja sebelumnya.

Di atas situasi di mana Ra Kuti tak mengakar di masyarakat bahkan pendukungnya di istana inilah, Gajahmada dan pasukan Bhayangkara menyusun kekuatan untuk menggempur balik Ra Kuti. Dan usahanya itu pun membuahkan hasil. Ra Kuti dan pasukannya berhasil dilumpuhkan. Dan kekuasaan dikembalikan kepada Jayanegara sebagai raja yang sah. Maka, berhasillah Gajahmada dan pasukan Bhayangkaranya mengawal dan kemudian menempatkan kembali raja yang sah itu ke dampar kedaton Majapahit yang sempat digoncang kraman.

Namun, Jayanegara ternyata masih menyimpan bahaya. Ketika ia sakit, tujuh tahun kemudian, Gajahmada berinisiatif meminta bantuan Ra Tanca, satu-satunya Dharmaputra Winehsuka yang selamat karena ia menyerah, yang tengah dipenjara. Ia memang tabib kesohor di Majapahit. Bahkan sebelumnya, Ra Tanca sering dimintai bantuan Jayanegara ketika ia atau keluarganya sakit.

Namun, justru itulah saat dimana Jayanegara menghadapi ancaman yang sebenarnya. Ketika Ra Tanca meramu obat, ternyata obat tersebut beracun yang sangat mematikan. Gajahmada tak menduga sama sekali hal itu terjadi, karena obat yang sama sudah diminum Ra Tanca lebih dulu dan terbukti tak berpengaruh pada tabib itu. Jayanegara akhirnya tewas di tempat. Gajahmada langsung membunuh Ra Tanca karena ulahnya. Mangkatlah raja Jayanegara saat itu juga. Dan Majapahit pun berduka.

Dan pada saat itulah terkuak siapa sebenarnya Bagaskara Manjer Kawuryan itu.

***

Saya teringat dengan Nagrasasra-Sabuk Inten dan juga Api di Bukit Menoreh ketika membaca buku novel ini. Saya teringat SH. Mintardja. Dulu, ketika masih SMP, saya rela menunggu kedatangan buku seri lanjutan cerita-cerita itu tiap bulan di rumah tetangga yang berlangganan, hanya untuk mengikuti kisah lanjutannya.

Demikian juga yang saya rasakan ketika membaca buku ini. Ia menyeret saya untuk terus membaca hingga halaman terakhir. Ia memesona saya, dan syukurlah, saya tak perlu menunggu berbulan-bulan hingga kisah itu – sementara – berakhir. Bagaimanapun saya mendapati buku lanjutannya itu, jilid II, III, bahkan kabarnya jilid V pun sudah ditulis Pak Langit. Kalau tidak salah tentang muksa-nya Gajahmada.

Sebagaimana dulu tergila-gila dengan sandirawa radio Tutur Tinular, membaca Gajahmada ini pun membuat saya mengalami hal serupa. Apalagi Pak Langit membumbui kisah ini dengan beberapa misteri, permainan telik sandi yang mengasyikkan, serupa melihat jalannya perang yang penuh strategi dan tipu-muslihat. Kelihatannya ini khas Pak Langit, karena begitu pula adanya ketika saya membaca karya beliau yang lain. Libby dan De Castaz, misalnya.

Membaca detil peristiwa pemberontakan Kuti itu, saya bertanya-tanya: darimana beliau mendapatkan sumber cerita? Bagaimana beliau menempatkan orang-orang, yang mungkin fiktif, diantara cerita itu. Sehingga, terciptalah sinergi yang asyik, hingga saya bahkan tak lagi tahu, ini cerita sungguh-sungguh terjadi atau rekaan belaka? Namun satu hal, saya yakin Pak Langit telah melakukan riset yang luar biasa. Bagaimana tidak? Ia bisa menyebut denah istana Majapahit berikut nama-nama benteng dan bagian-bagian istananya. Ia juga menyebut berbagai tempat seperti Rakryan (sekarang kota Krian), Angawiyat (sekarang Ngawi), Crubang (sekarang Caruban), Ponorogo, Sambit Purwohantoro (sekarang sebuah kecamatan di Ponorogo: Sambit Purwantoro), Mojoagung, Bander atau Bebander, dan sebagainya. Sehingga setelah membacanya, kita seperti dihadapkan pada sebuah peta lama berabad yang lalu di depan mata.

Hanya saja, ada beberapa hal yang menurut saya sedikit mengganggu. Pertama, banyak perulangan yang mungkin tak terlalu perlu disampaikan, seperti seting awal tentang kabut tebal yang menyelimuti Majapahit, terjadinya perampokan, perampasan, dan perkosaan ketika Ra Kuti menguasai keraton, dan beberapa situasi lain. Kalimat atau situasi itu diulang-ulang di berbagai tempat. Rasanya sedikit membosankan.

Kedua, pada beberapa tempat diceritakan tokoh-tokoh pembantu atau pelengkap, biasanya penduduk, yang berbincang mengenai sesuatu, atau mengalami sesuatu, tetapi tidak terlalu berpengaruh pada cerita. Semacam jeda, yang jika dihilangkan pun dan diganti dengan narasi yang lain mungkin tak mengapa. Entah mengapa, saya tak begitu "menikmati" sempalan ini.

Ketiga, digunakannya sudut pandang (POV) orang ketiga yang tahu segalanya. Artinya, sampai perasaan yang terbetik di hati tokohnya pun bisa diungkapkan sehingga pembaca tahu perasaan tokoh. Paling menyolok saya dapati pada telik sandi Singa Parepen yang terus diungkapkan perasaannya di dalam cerita, bahkan siapa sebenarnya pembunuh Risang Panjer Lawang, serta kematian Mahisa Kingkin apakah sudah membuat bersih tubuh Bhayangkara atau belum. Kedua hal tersebut sudah diketahui di depan, karena si telik sandi, Singa Parepen, mengungkapkan perasaannya di dalam cerita. Dari aspek ke-thriller-an, hal itu membuat tingkat kepenasaranan saya sangat menurun. Toh saya sudah tahu bahwa telik sandi Ra Kuti yang menyusup di tubuh Bhayangkara ternyata belum mati!

Tetapi, hal-hal kecil di atas tak lantas membuat cerita ini tak menarik. Semuanya tak berpengaruh rasanya, karena hanya dalam tiga-empat hari, di sela-sela kesibukan kerja, saya bisa menyelesaikan bacaan mengasyikkan ini.

No comments: